Minggu, 01 Juni 2014

Cerpen-Uwie


Uwie
oleh Ahmad Muzani

Lihatlah mutiara itu tertebar ke segala arah, bergumul bersama debu jalanan. Menjadi rias peluh bagi para pemulung, pengasong, petani, pendidik, dan pejalan-pejalan kehidupan lainnya. Rasakan makna kilaunya dengan pandangan yang lebih menyeluruh dan komprehensif. Karena keindahan tidaklah harus berbatas pada kediriaan objek itu semata, melainkan juga pada kesemuaan subyek-subyek nilai yang memungkinkannya disebut sebagai sebuah  keindahan.
Matahari memancarkan terik sinarnya untuk kita mainkan dengan segala bentuk gerak bayang. Kita berhak menarikan sesuka dan sebebas-bebasnya hati, asalkan tidak saling menyikut dan berebut, karena pancaran sinar sang matahari akan tetap terlimpah untuk kita semua, sepanjang gerak hidupmu tidak terpenjara oleh ruang kedzaliman yang menistakan kepada sesama manusia.
Uwie selalu menghadapi pagi dengan penuh keberanian, seolah-olah ia ingin menantang matahari, ia yang harus menemui dan melihat dunia sebelum matahari melepaskan pelukan kepada rembulan. Ia sudah menerbitkan kediriannya sebelum dibayangioleh pijar matahari pagi. Dinikmatinya gelayut embun dikuncup daun, diheningkannya suara burung-burung dan serangga, agar ia dapat lebih merdeka membebaskan irama-irama batin dan menerbangkannya dilangit-langit kehidupan, yang memang terhampar luas untuknya.
“Uwie berangkat  bu!” Seru uwie kepada ibunya.
Sang ibu menghampiri sambil bertanya tentang ketidakbiasaan berangkat kuliah sepagi ini.
“Oh, uwie hanya ingin menikmati udara pagi diperjalanan bu, agar tidak tergesa-gesa menanti jadwal perkuliahan hari ini.” Senyumnya menyimpul sempurna, menggoda ibu untuk turut tersenyum pula mendengar penjelasan puteri tercinta. Diciumnya dengan penuh ketakziman punggung tangan ibu, lalu berjalan santai meninggalkan rumah, menuju tempat dimana semua harapan-harapan sang ibu dititipkan untuk diwujudkan, siapa yang mewujudkan? Hanya kedirian Uwie yang mampu menjawabnya.
Didalam angkutan umum yang mengantarnya menuju kampus, Uwie bertemu dengan sahabatnya. Berbincang hangatlah mereka berdua, sebelum dihentikan oleh kegaduhan didalam kendaraan yang menaik-turunkan penumpang. Kali ini mereka diharuskan mengalah pada dua orang pemuda tanggung yang salah satu diantaranya membawa gitar kayu, dengan santai mengobrolkan sesuatu yang membuat seisi ruang terganggu. Memaksa mereka untuk turut pula menikmati kegaduhan itu.
            “Sangat tidak enak mendengar obrolan mereka  wie, rasanya sangat tidak pantas kata-kata seperti itu diomongkan ditempat umum!” Omel sahabatnya setelah sampai didepan gerbang kampus. Uwie hanya tersenyum mendengarnya. Sembari berjalan kedalam, ia menuturkan pendapatnya,
“Kamu kurang memahami mereka sayang,”
“Kurang memahami bagaimana? aku dapat menilai obrolan mereka tidak pantas, apa itu bukan pemahaman?”
“Mau kamu gimana? Mereka harus bertutur seperti apa sih agar dapat disebut pantas?” uwie menggoda,
“Ya setidaknya mereka sadar bahwa didalam angkutan masih ada orang lain yang juga turut mendengar obrolan mereka, mbok ya jangan seenaknya gitu!”
“Aduh! Jangan karena gara-gara kita berdua adalah mahasiswa lantas segala hal musti perlu diilmiahkan,”
“Kalau mereka mengaku awam dengan kaidah-kaidah yang diilmiahkan, ya jangan terlalu banyak menebar ketidaktahuan mereka itu didepan umum dong, malu-maluin!”Jelas sahabatnya dengan nada sinis,
“Kamu ini gimana sih say! Orang pintar itu harus memahami bahasanya orang bodoh, kalau kita mengaku sebagai mahasiswa, sebenarnya kitalah yang lebih diharuskan untuk memahami mereka, bukan malah memaksa mereka untuk memahami kita,” Semakin deras tutur uwie menyangkal semua ucapan sahabatnya, 
“Kita beruntung dapat diberi kesempatan menempuh pendidikan setinggi ini, coba bandingkan dengan mereka? Kalau mereka tidak paham dengan omongan kita, itu wajar! Karena mereka tidak menempuh pendidikan setinggi yang kita tempuh sekarang, apa dibenarkan kamu menyalahkan mereka seperti itu?”
Sahabatnya tertegun mendengar jawaban uwie, kemudian diam seribu bahasa dan memilih menyamarkan kegusaran dengan memainkan smartphone miliknya.
“Tuntutlah diri kita sendiri untuk mampu memahami mereka, bukan malah balik menuntut mereka.” Uwie memungkasi perdebatan dengan merangkul bahu sahabatnya dengan erat, sahabatnya hanya tersenyum.
            Matahari sudah tepat bertahta diatas kepala, ketika uwie selesai melaksanakan perkuliahannya hari ini.Bergegas ia menuju kepusat kota, menikmati kegemarannya berpetualang mengitari setiap sudut kota , menemukan keluasan ditengah padatnya hiruk-pikuk manusia mencari suaka. Uwie sadar betul akan pentingnya menyeimbangkan diri dengan keadaan lingkungan. Baginya, alam menyimpan berjuta pengetahuan. Menguraikan ketidaktahuannya dengan mempelajari setiap gerak-gerik para pejalan kaki, pengasong dilampu merah, pengemis ditrotor jalan, sampai dengan gestur keangkuhan para pemilik modal kepada para pekerja bangunan. Tidak hanya melihat apa yang terlihat, ia juga berusaha untuk dapat mendengar kelembutan nada-nada yang tersembunyi dibalik kerasnya hentakan zaman, seperti tangis bayi digendongan seorang ibu yang sedang mengemisi diri, dengkur polantas disemrawutnya jalan raya, dan bisik-bisik pemilik modal kepada para penguasa wilayah.
Ah, begitu banyak bahan ajar yang mengudara diruang terbuka.Menggelar kurikulum kehidupan, pembelajaran yang tidak mengenal batas waktu, mengapresiasi setiap kemungkinan-kemungkinan baru tanpa penghakiman. Dihayatinya setiap langkah kaki, mencari keselarasan teori-teori yang ia dapat dikelas dengan realitas yang ia saksikan disegala tempat. Karena ia sangat meyakini, bahwa ilmu lahir dari kehidupan, ilmu dimiliki oleh siapapun yang sudah melaksanakan kehidupannya. Oleh karenanya ia sangat menuntut dirinya untuk dapat sanggup sebisa mungkin menghargai orang lain, dan belajar mempertanyakan ketidaktahuannya kepada semua orang, siapapun dia.
“Hai wie, sedang apa kamu disini?” Sapa seorang perempuan muda mengusik Uwie yang sedang asyik bermain bersama anak-anak dibantaransungai yang dipenuhi sampah-sampah industri. Perempuan itu berparas ayu, tampilannya mirip-mirip artis ibukota.
“Aku Indri, temen SMAmu wie! Masa kamu lupa, tega bener deh,”Ia mengenalkan diri setelah melihat respon Uwie yang kebingungan.
“Aduh ndri, kamu cantik banget! Salahmu berdandan mirip bidadari surgawi, mana aku bisa mengenalimu!”Uwie memeluk erat teman lamanya itu,
            “Ah bisa ajah, yang mirip bidadari itu kamu tau!”Balas temannya sembari mencubit gemas pipi uwie,
            “Sedang apa disini?” temannya kembali bertanya,
“Lagi main-main ajah, sambil bantuin anak-anak ngumpulin sampah-sampah plastik,” Jawab Uwie ringan,
“Kamu sendiri ngapain disini? Tempat bidadari kan bukan disini!” Sambil menggoda Uwie balik menanyainya,
“Aku lagi ada sesi pemotretan. Tuh kru aku disana!” Ia menjawab dengan telunjuk mengarah ke wilayah lain dibantaran yang dihiasi bangunan non-permanen.
Uwie memandang kearah kerumanan orang itu, dan tersenyum kecil,
“Udah jadi artis ya sekarang! Hebat deh kamu ndri!”
“Aduh! artis amatiran wie, sial banget coba aku kebagian sesi pemotretan disini, sangat-sangat ndak indah blass!” Temannya menggerutu, lalu menyadari akan kewajibannya dan meminta pamit kepada uwie sembari mengucap janji bahwa ia akan menemuinya kembali esok hari, Uwie hanya senyum-senyum saja.
Sepeninggal temannya, Uwie kembali melanjutkan keayikannya yang sempat terusik, membantu anak-anak tadi mengumpulkan plastik-plastik bekas industri sekaligus menemani mereka bermain, menghadirkan keceriaan dan melarutkannya dalam kebahagiaan.
            Matahari perlahan menenggelamkan diri keperaduan, diantarkan arak-arakan megah mega-mega. Uwie menuntun dirinya sendiri untuk turut pulang, beringsut kembali kerumah setelah menutup buku pelajaran yang sudah ia penuhi beberapa lembarnya dengan kebermaknaan tentang ilmu dan kehidupan. Mempersiapkan lembaran-lembaran berikutnya untuk ia tuliskan kembali esok hari.

Uwie lega karena tanggungjawabnya untuk menuntut ilmu telah terpenuhi, saatnya ia beralih menuntut dirinya sendiri atas ilmu yang sudah diperoleh. Menyelaraskannya dengan realitas, mengaplikasikannya dengan aplikasi diri, bukan manipulasi teknologi. Menghadirkan ketersentuhan, bukan pengamatan yang hanya sebatas memandang. Karena apa yang dipandang tidaklah pasif dan tanpa arti.

1 komentar:

  1. Selamat dan semangat Muzani menghadirkan cerita yang menarik.

    BalasHapus