Uwie
oleh Ahmad Muzani
Lihatlah mutiara itu tertebar ke
segala arah, bergumul bersama debu jalanan. Menjadi rias peluh bagi para
pemulung, pengasong, petani, pendidik, dan pejalan-pejalan kehidupan lainnya.
Rasakan makna kilaunya dengan pandangan yang lebih menyeluruh dan komprehensif.
Karena keindahan tidaklah harus berbatas pada kediriaan objek itu semata,
melainkan juga pada kesemuaan subyek-subyek nilai yang memungkinkannya disebut
sebagai sebuah keindahan.
Matahari memancarkan terik sinarnya
untuk kita mainkan dengan segala bentuk gerak bayang. Kita berhak menarikan
sesuka dan sebebas-bebasnya hati, asalkan tidak saling menyikut dan berebut, karena
pancaran sinar sang matahari akan tetap terlimpah untuk kita semua, sepanjang
gerak hidupmu tidak terpenjara oleh ruang kedzaliman yang menistakan kepada
sesama manusia.
…
Uwie selalu menghadapi pagi dengan
penuh keberanian, seolah-olah ia ingin menantang matahari, ia yang harus
menemui dan melihat dunia sebelum matahari melepaskan pelukan kepada rembulan.
Ia sudah menerbitkan kediriannya sebelum dibayangioleh pijar matahari pagi.
Dinikmatinya gelayut embun dikuncup daun, diheningkannya suara burung-burung
dan serangga, agar ia dapat lebih merdeka membebaskan irama-irama batin dan
menerbangkannya dilangit-langit kehidupan, yang memang terhampar luas untuknya.
“Uwie berangkat bu!” Seru uwie kepada ibunya.
Sang ibu menghampiri sambil
bertanya tentang ketidakbiasaan berangkat kuliah sepagi ini.
“Oh, uwie hanya ingin menikmati
udara pagi diperjalanan bu, agar tidak tergesa-gesa menanti jadwal perkuliahan
hari ini.” Senyumnya menyimpul sempurna, menggoda ibu untuk turut tersenyum
pula mendengar penjelasan puteri tercinta. Diciumnya dengan penuh ketakziman punggung
tangan ibu, lalu berjalan santai meninggalkan rumah, menuju tempat dimana semua
harapan-harapan sang ibu dititipkan untuk diwujudkan, siapa yang mewujudkan?
Hanya kedirian Uwie yang mampu menjawabnya.
…
Didalam angkutan umum yang
mengantarnya menuju kampus, Uwie bertemu dengan sahabatnya. Berbincang
hangatlah mereka berdua, sebelum dihentikan oleh kegaduhan didalam kendaraan yang
menaik-turunkan penumpang. Kali ini mereka diharuskan mengalah pada dua orang pemuda
tanggung yang salah satu diantaranya membawa gitar kayu, dengan santai
mengobrolkan sesuatu yang membuat seisi ruang terganggu. Memaksa mereka untuk turut
pula menikmati kegaduhan itu.
“Sangat
tidak enak mendengar obrolan mereka wie,
rasanya sangat tidak pantas kata-kata seperti itu diomongkan ditempat umum!”
Omel sahabatnya setelah sampai didepan gerbang kampus. Uwie hanya tersenyum
mendengarnya. Sembari berjalan kedalam, ia menuturkan pendapatnya,
“Kamu kurang memahami mereka
sayang,”
“Kurang memahami bagaimana? aku
dapat menilai obrolan mereka tidak pantas, apa itu bukan pemahaman?”
“Mau kamu gimana? Mereka harus
bertutur seperti apa sih agar dapat disebut pantas?” uwie menggoda,
“Ya setidaknya mereka sadar bahwa
didalam angkutan masih ada orang lain yang juga turut mendengar obrolan mereka,
mbok ya jangan seenaknya gitu!”
“Aduh! Jangan karena gara-gara kita
berdua adalah mahasiswa lantas segala hal musti perlu diilmiahkan,”
“Kalau mereka mengaku awam dengan
kaidah-kaidah yang diilmiahkan, ya jangan terlalu banyak menebar ketidaktahuan
mereka itu didepan umum dong, malu-maluin!”Jelas sahabatnya dengan nada sinis,
“Kamu ini gimana sih say! Orang
pintar itu harus memahami bahasanya orang bodoh, kalau kita mengaku sebagai
mahasiswa, sebenarnya kitalah yang lebih diharuskan untuk memahami mereka,
bukan malah memaksa mereka untuk memahami kita,” Semakin deras tutur uwie
menyangkal semua ucapan sahabatnya,
“Kita beruntung dapat diberi
kesempatan menempuh pendidikan setinggi ini, coba bandingkan dengan mereka?
Kalau mereka tidak paham dengan omongan kita, itu wajar! Karena mereka tidak
menempuh pendidikan setinggi yang kita tempuh sekarang, apa dibenarkan kamu
menyalahkan mereka seperti itu?”
Sahabatnya tertegun mendengar
jawaban uwie, kemudian diam seribu bahasa dan memilih menyamarkan kegusaran
dengan memainkan smartphone miliknya.
“Tuntutlah diri kita sendiri untuk
mampu memahami mereka, bukan malah balik menuntut mereka.” Uwie memungkasi
perdebatan dengan merangkul bahu sahabatnya dengan erat, sahabatnya hanya
tersenyum.
…
Matahari
sudah tepat bertahta diatas kepala, ketika uwie selesai melaksanakan
perkuliahannya hari ini.Bergegas ia menuju kepusat kota, menikmati kegemarannya
berpetualang mengitari setiap sudut kota , menemukan keluasan ditengah padatnya
hiruk-pikuk manusia mencari suaka. Uwie sadar betul akan pentingnya
menyeimbangkan diri dengan keadaan lingkungan. Baginya, alam menyimpan berjuta
pengetahuan. Menguraikan ketidaktahuannya dengan mempelajari setiap gerak-gerik
para pejalan kaki, pengasong dilampu merah, pengemis ditrotor jalan, sampai
dengan gestur keangkuhan para pemilik modal kepada para pekerja bangunan. Tidak
hanya melihat apa yang terlihat, ia juga berusaha untuk dapat mendengar
kelembutan nada-nada yang tersembunyi dibalik kerasnya hentakan zaman, seperti
tangis bayi digendongan seorang ibu yang sedang mengemisi diri, dengkur polantas
disemrawutnya jalan raya, dan bisik-bisik pemilik modal kepada para penguasa
wilayah.
Ah, begitu
banyak bahan ajar yang mengudara diruang terbuka.Menggelar kurikulum kehidupan,
pembelajaran yang tidak mengenal batas waktu, mengapresiasi setiap kemungkinan-kemungkinan
baru tanpa penghakiman. Dihayatinya setiap langkah kaki, mencari keselarasan teori-teori
yang ia dapat dikelas dengan realitas yang ia saksikan disegala tempat. Karena
ia sangat meyakini, bahwa ilmu lahir dari kehidupan, ilmu dimiliki oleh
siapapun yang sudah melaksanakan kehidupannya. Oleh karenanya ia sangat
menuntut dirinya untuk dapat sanggup sebisa mungkin menghargai orang lain, dan
belajar mempertanyakan ketidaktahuannya kepada semua orang, siapapun dia.
…
“Hai wie, sedang apa kamu disini?”
Sapa seorang perempuan muda mengusik Uwie yang sedang asyik bermain bersama
anak-anak dibantaransungai yang dipenuhi sampah-sampah industri. Perempuan itu berparas
ayu, tampilannya mirip-mirip artis ibukota.
“Aku Indri, temen SMAmu wie! Masa kamu
lupa, tega bener deh,”Ia mengenalkan diri setelah melihat respon Uwie yang
kebingungan.
“Aduh ndri, kamu cantik banget!
Salahmu berdandan mirip bidadari surgawi, mana aku bisa mengenalimu!”Uwie
memeluk erat teman lamanya itu,
“Ah
bisa ajah, yang mirip bidadari itu kamu tau!”Balas temannya sembari mencubit
gemas pipi uwie,
“Sedang
apa disini?” temannya kembali bertanya,
“Lagi main-main ajah, sambil
bantuin anak-anak ngumpulin sampah-sampah plastik,” Jawab Uwie ringan,
“Kamu sendiri ngapain disini? Tempat
bidadari kan bukan disini!” Sambil menggoda Uwie balik menanyainya,
“Aku lagi ada sesi pemotretan. Tuh
kru aku disana!” Ia menjawab dengan telunjuk mengarah ke wilayah lain
dibantaran yang dihiasi bangunan non-permanen.
Uwie memandang kearah kerumanan
orang itu, dan tersenyum kecil,
“Udah jadi artis ya sekarang! Hebat
deh kamu ndri!”
“Aduh! artis amatiran wie, sial
banget coba aku kebagian sesi pemotretan disini, sangat-sangat ndak indah blass!” Temannya menggerutu,
lalu menyadari akan kewajibannya dan meminta pamit kepada uwie sembari mengucap
janji bahwa ia akan menemuinya kembali esok hari, Uwie hanya senyum-senyum
saja.
Sepeninggal temannya, Uwie kembali
melanjutkan keayikannya yang sempat terusik, membantu anak-anak tadi
mengumpulkan plastik-plastik bekas industri sekaligus menemani mereka bermain,
menghadirkan keceriaan dan melarutkannya dalam kebahagiaan.
…
Matahari
perlahan menenggelamkan diri keperaduan, diantarkan arak-arakan megah
mega-mega. Uwie menuntun dirinya sendiri untuk turut pulang, beringsut kembali
kerumah setelah menutup buku pelajaran yang sudah ia penuhi beberapa lembarnya
dengan kebermaknaan tentang ilmu dan kehidupan. Mempersiapkan lembaran-lembaran
berikutnya untuk ia tuliskan kembali esok hari.
Uwie lega karena tanggungjawabnya
untuk menuntut ilmu telah terpenuhi, saatnya ia beralih menuntut dirinya
sendiri atas ilmu yang sudah diperoleh. Menyelaraskannya dengan realitas,
mengaplikasikannya dengan aplikasi diri, bukan manipulasi teknologi.
Menghadirkan ketersentuhan, bukan pengamatan yang hanya sebatas memandang.
Karena apa yang dipandang tidaklah pasif dan tanpa arti.
Selamat dan semangat Muzani menghadirkan cerita yang menarik.
BalasHapus