Senin, 02 Juni 2014

Cerpen - Langit Merah Jambu



LANGIT MERAH JAMBU
oleh
Diah Ayu Candra Dewi

                Adalah Engkau yang menjadikan nafas ini ada. Dan melalui mereka Engkau menitipkanku. Allahumaghfirli waliwalidaya warhamhuma kamarobayani sagiroh. Duhai Allah Yang Maha Indah kutitipkan segenggam rinduku untuknya.
*****
                Akibat sudah sering terkena banjir, pintu kayu bercat coklat itu keropos hingga tidak bisa ditutup dengan rapat apalagi untuk dikunci. Saat aku harus pergi meninggalkan rumah, aku hanya mempercayakan rumahku pada tante Sum.
                Saatku kembali. Aku hanya diam mematung memandangi pintu itu, mencoba menerka apa yang sudah terjadi di dalamnya. Kupegang gagang pintunya. Dengan ragu kucoba beranikan diri untuk melihatnya.
Wow…
“Pasti banyak cacing. Pasti cacingnya besar-besar. Aku benci cacing…” Risau ini kubisikkan pada angin, kuharap ia menyampaikannya pada mereka.
Seperti yang kuduga, banjir sudah memasuki rumah. Airnya hampir mencapai lutut hingga membasahi seragam putih abu-abuku. Aku diam, menangis. Bukan karena banjir ini. Tapi mereka.

*****
“Sudah puaskah kau memaki-maki dan mempermalukan saya di depan umum? Puas?!
“Pantaskah kamu marah? Seharusnya saya yang marah! Kau menghilang begitu saja tanpa kabar. Lalu tiba-tiba kembali dengan membawanya. Imam macam apa kau itu? Seharusnya tak perlu kembali atau mengapa tidak mati saja kau ini?!”
Tangan lelaki itu melayang bersiap menampar pipi lembut yang sudah mulai keriput itu, tapi terhenti. Ya aku melihatnya. Dadanya membusung berusaha menampung oksigen sebanyak-banyaknya.
“Kau! Jaga bicaramu!” Suaranya tegas membungkam keheningan malam hingga hanya terdengar hembusan nafas yang saling berkejaran.
 “Sudahlah kalian bercerai saja!” sambungku tanpa ada keraguan. Berhasil mematungkan keduanya.
*****
Lelaki itu tersenyum  padaku. Tapi sepertinya aku tidak mempunyai alasan yang cukup untuk membalas senyumannya.
“Mengapa ayah masih di sini? Sebenarnya aku lebih suka ayah tidak di sini. Za dan Ibu akan baik-baik saja meski tanpa Ayah. Oh ya.. titipkan salamku juga untuk wanita itu.”
Itu ucapan terakhirku untuknya. Ia pergi, seperti yang kuminta. Sungguh, aku takkan menangisinya. Aku takkan membiarkan angin yang berhembus bertanya-tanya atas resahku.
Hingga beberapa bulan kemudian wanita yang kusebut ibu, wanita yang dianggungkan oleh Allah karena sudah membawaku ke dunia, ia juga ikut pergi dari rumah. Mencari pekerjaan katanya. Meninggalkanku seorang sendiri yang saat itu masih duduk di bangku kelas VIII SMP.
*****
                Aku menunggu. Tapi tak datang jua. Hingga kini diusiaku yang hampir 17 tahun. Bukan ku tak berniat mencari, tapi untuk apa? Bukankah seharusnya mereka yang akan datang menemuiku di rumah ini? Kuharap mereka punya alasan atas tanyaku.  
“Za... mengapa kau hanya diam memandangi rumahmu ini?”
“Ehm.. iya Gy?” Gadis remaja berambut keriting sosis memecahkan lamunanku atas kejadian 3 tahun lalu. Tentang mereka, orangtuaku. Ayah dan Ibuku.
“Sudah tak perlu bersedih. Setiap tahun kita selalu merasakan keadaan banjir seperti ini, namanya juga Jakarta.” Tangannya lembut merangkul tubuh yang kini mulai menggigil.
“Tak apa Gy, aku baik-baik saja.” Aku tersenyum berharap senyumanku dapat menutupi luka ini.
“Ya sudah ayo ke rumah. Di tunggu Mama, kamu belum makan bukan?”
“Memang tante Sum sudah datang?”
“He’ehm baru saja. Ayo… aku lapar nih.”   
*****
                Berusia sekitar tiga puluh limaan. Masih muda tapi sifat keibuannya tak pernah luntur dari paras jelitanya. Ia baru memiliki satu anak perempuan, Ugy.
Dia menatapku dan tersenyum. Sungguh, selalu saja kulihat cakrawala di senyumnya. Perlahan berjalan mendekatiku, dikecupnya keningku. “Za akan baik-baik saja.” Bisiknya lirih.
*****
                Aku tak peduli harus berapa lama keangkuhan ini kukenakan sebagai topeng. Adalah hidup dimana kita harus selalu memilih. Meski pada awalnya kita tak berhak memilih ya atau tidak untuk bernafas di bumi ini. Menyesal? Tentu tidak. Selama aku masih mampu bercakap dengan warna-warni senja. Merah jambu, jingga, biru, ungu, dan kelabu yang saling beradu . Selama aku mampu menjadi apapun yang kumau meski itu hanya dalam imaji.
                Orangtua memanglah milik kita yang paling berharga. Tapi hidup ini adalah milik kita. Menjadikan kesalahan mereka sebagai alasan untuk kita jatuh adalah hal bodoh. Dan bagiku kini orangtua bukan hanya mereka yang memiliki hubungan darah, tapi mereka yang benar-benar ada dan mengajarkan kita untuk bangkit. Dan itu yang kudapat dari tante Sum. Orangtuaku? Aku tidak melupakannya, tidak pernah. Akupun tidak berharap mereka melupakanku. Ingat namaku satu detikpun sudah membuatnya bermakna.
 *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar