LANGIT MERAH JAMBU
oleh
Diah Ayu Candra
Dewi
Adalah Engkau yang
menjadikan nafas ini ada. Dan melalui mereka Engkau menitipkanku. Allahumaghfirli waliwalidaya
warhamhuma kamarobayani sagiroh. Duhai Allah Yang Maha Indah kutitipkan segenggam
rinduku untuknya.
*****
Akibat sudah sering
terkena banjir, pintu kayu bercat coklat itu keropos hingga tidak bisa ditutup
dengan rapat apalagi untuk dikunci. Saat aku harus pergi meninggalkan rumah,
aku hanya mempercayakan rumahku pada tante Sum.
Saatku kembali. Aku
hanya diam mematung memandangi pintu itu, mencoba menerka apa yang sudah
terjadi di dalamnya. Kupegang gagang pintunya. Dengan ragu kucoba beranikan
diri untuk melihatnya.
Wow…
“Pasti banyak cacing. Pasti cacingnya besar-besar. Aku benci cacing…” Risau
ini kubisikkan pada angin, kuharap ia menyampaikannya pada mereka.
Seperti yang kuduga, banjir sudah memasuki rumah. Airnya hampir mencapai
lutut hingga membasahi seragam putih abu-abuku. Aku diam, menangis. Bukan
karena banjir ini. Tapi mereka.
*****
“Sudah puaskah kau memaki-maki dan mempermalukan saya di depan umum? Puas?!
“Pantaskah kamu marah? Seharusnya saya yang marah! Kau menghilang begitu
saja tanpa kabar. Lalu tiba-tiba kembali dengan membawanya. Imam macam apa kau
itu? Seharusnya tak perlu kembali atau mengapa tidak mati saja kau ini?!”
Tangan lelaki itu melayang bersiap menampar pipi lembut yang sudah mulai
keriput itu, tapi terhenti. Ya aku melihatnya. Dadanya membusung berusaha menampung
oksigen sebanyak-banyaknya.
“Kau! Jaga bicaramu!” Suaranya tegas membungkam keheningan malam hingga
hanya terdengar hembusan nafas yang saling berkejaran.
“Sudahlah kalian bercerai saja!”
sambungku tanpa ada keraguan. Berhasil mematungkan keduanya.
*****
Lelaki itu tersenyum padaku. Tapi
sepertinya aku tidak mempunyai alasan yang cukup untuk membalas senyumannya.
“Mengapa ayah masih di sini? Sebenarnya aku lebih suka ayah tidak di sini.
Za dan Ibu akan baik-baik saja meski tanpa Ayah. Oh ya.. titipkan salamku juga
untuk wanita itu.”
Itu ucapan terakhirku untuknya. Ia pergi, seperti yang kuminta. Sungguh,
aku takkan menangisinya. Aku takkan membiarkan angin yang berhembus
bertanya-tanya atas resahku.
Hingga beberapa bulan kemudian wanita yang kusebut ibu, wanita yang
dianggungkan oleh Allah karena sudah membawaku ke dunia, ia juga ikut pergi
dari rumah. Mencari pekerjaan katanya. Meninggalkanku seorang sendiri yang saat
itu masih duduk di bangku kelas VIII SMP.
*****
Aku menunggu. Tapi tak
datang jua. Hingga kini diusiaku yang hampir 17 tahun. Bukan ku tak berniat
mencari, tapi untuk apa? Bukankah seharusnya mereka yang akan datang menemuiku
di rumah ini? Kuharap mereka punya alasan atas tanyaku.
“Za... mengapa kau hanya diam memandangi rumahmu ini?”
“Ehm.. iya Gy?” Gadis remaja berambut keriting sosis memecahkan lamunanku
atas kejadian 3 tahun lalu. Tentang mereka, orangtuaku. Ayah dan Ibuku.
“Sudah tak perlu bersedih. Setiap tahun kita selalu merasakan keadaan
banjir seperti ini, namanya juga Jakarta.” Tangannya lembut merangkul tubuh
yang kini mulai menggigil.
“Tak apa Gy, aku baik-baik saja.” Aku tersenyum berharap senyumanku dapat
menutupi luka ini.
“Ya sudah ayo ke rumah. Di tunggu Mama, kamu belum makan bukan?”
“Memang tante Sum sudah datang?”
“He’ehm baru saja. Ayo… aku lapar nih.”
*****
Berusia sekitar tiga puluh
limaan. Masih muda tapi sifat keibuannya tak pernah luntur dari paras
jelitanya. Ia baru memiliki satu anak perempuan, Ugy.
Dia menatapku
dan tersenyum. Sungguh, selalu saja kulihat cakrawala
di senyumnya. Perlahan berjalan mendekatiku, dikecupnya keningku. “Za akan
baik-baik saja.” Bisiknya lirih.
*****
Aku tak peduli harus berapa lama
keangkuhan ini kukenakan sebagai topeng. Adalah
hidup dimana kita harus selalu memilih. Meski pada awalnya kita tak berhak
memilih ya atau tidak untuk bernafas di bumi ini. Menyesal? Tentu tidak. Selama
aku masih mampu
bercakap dengan warna-warni senja. Merah jambu, jingga, biru, ungu, dan kelabu yang
saling beradu . Selama aku mampu menjadi apapun yang kumau meski itu hanya
dalam imaji.
Orangtua memanglah
milik kita yang paling berharga. Tapi hidup ini adalah milik kita. Menjadikan
kesalahan mereka sebagai alasan untuk kita jatuh adalah hal bodoh. Dan bagiku
kini orangtua bukan hanya mereka yang memiliki hubungan darah, tapi mereka yang
benar-benar ada dan mengajarkan kita untuk bangkit. Dan itu yang kudapat dari
tante Sum. Orangtuaku? Aku tidak melupakannya, tidak pernah. Akupun tidak
berharap mereka melupakanku. Ingat namaku satu detikpun sudah membuatnya
bermakna.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar